Rabu, 24 Maret 2010

Estimasi Karbon dengan Remote Sensing

Seperti di ketahui bahwa program Reduction emission from deforestation and degradation sudah menggema di dunia, menandakan bahwa ada moment penting yang harus kita pikirkan kepada dunia yang mulai tidak bersahabat karena ulah manusia sendiri.

Yup, Pemanasan Global telah menjadi isu yang mengerikan untuk di dengar apalagi akibatnya yang luar biasa secara langsung dan tidak akan pasti mempengaruhi manusia.

salah satu cara untuk terhindar atau mungkin kita bisa katakan mengurangi efek pemanasan global ini adalah dengan cara penurunan kadar karbon di atmosfer. Karbon merupakan salah satu unsur yang menyebabkan naiknya suhu di atmosfer karena pantulan sinar matahari yang terakumulasi di karbon akan di lepaskan kembali, bukan tidak mungkin karbon ini bersenyawa dengan unsur lain di atmosfer membentuk lapisan yang bisa menggandakan sinar matahari, yg tentu saja akibatnya suhu menjadi berlipat ganda.

Untuk mengetahui sebab terakumulasinya karbon itu di atmosfer kita perlu mengetahui sebabnya yaitu salah satunya adalah terbakarnya hutan baik itu di sengaja atau tidak.

Remote sensing dalam hal ini merupakan ilmu yang berkaitan dengan usaha analisa permukaan bumi dengan menggunakan sarana citra satelite atau foto udara, mampu memberikan gambaran sementara mengenai kondisi fisik penutupan lahan di bumi. bukan itu saja dengan remote sensing kita melihat perubahan yang terjadi di permukaan bumi berdasarkan waktu.

Senin, 22 Maret 2010

Remote sensing at Carbon estimation

Remote-sensing metodologi yang telah lebih berhasil mengukur persediaan karbon di hutan boreal dan iklim dan muda berdiri dengan kepadatan rendah karbon hutan (Rosenqvist et al 2003b). Hutan tropis yang paling kaya karbon dan struktural ekosistem kompleks di dunia dan sinyal dari instrumen penginderaan jarak jauh cenderung cepat jenuh.  
Hal ini telah menghambat dapat diandalkan perkiraan cadangan karbon hutan di ekosistem ini. Remote-sensing mengandalkan sistem data optik (cahaya yang kelihatan dan inframerah) yang lebih terbatas di daerah tropis oleh awan, tapi teknologi baru, seperti sistem radar, dapat menembus awan dan memberikan data siang dan malam (Asner 2001).
Upaya untuk menggunakan data penginderaan jarak jauh untuk memperkirakan cadangan karbon telah berevolusi sepanjang empat bidang utama:
5.1. Optical data penginderaan jauh
Suite sekarang sensor optik satelit seperti Landsat, AVHRR dan MODIS, belum dapat digunakan untuk mengestimasi stok karbon hutan tropis dengan pasti (Thenkabail et al 2004). Upaya-upaya telah dilakukan untuk memperkirakan cadangan karbon hutan secara tidak langsung dengan mengembangkan hubungan statistik antara tanah dan pengukuran berbasis satelit mengamati indeks vegetasi (misalnya Foody et al 2003, Lu 2005). Namun, metode ini cenderung meremehkan persediaan karbon di hutan tropis di mana optik satelit yang kurang efektif karena penutupan kanopi lebat, dan telah gagal dalam menghasilkan hubungan yang luas atau dipindahtangankan (Waring et al 1995). Meskipun demikian, remote-sensing optik sistem operasional pada skala global dan beberapa sistem satelit (Landsat dan AVHRR) memberikan catatan yang konsisten secara global selama 30 tahun terakhir.

Masa depan REDD dan terkait kebijakan iklim tidak perlu dibatasi oleh tantangan teknis memperkirakan persediaan karbon hutan tropis. Berbagai pilihan yang ada untuk memperkirakan cadangan karbon hutan di negara berkembang dan akan terus meningkat dalam menanggapi kebutuhan dan sinyal kebijakan.
Di sini kami menyediakan Tingkat 1 IPCC memperkirakan tingkat nasional persediaan karbon hutan yang dapat digunakan langsung oleh negara dan pembuat kebijakan. Setiap negara perlu menggunakan penilaian berdasarkan ahli keuangan, kendala waktu dan kapasitas dalam memutuskan apakah akan menggunakan metode Tingkatan yang lebih tinggi. Di banyak negara mungkin lebih layak untuk mengandalkan tanah berbasis persediaan daripada penginderaan jauh data untuk perkiraan persediaan karbon hutan, seperti biaya tenaga kerja sering rendah dibandingkan dengan menginstal dan mengelola teknologi tinggi remote sensing peralatan dan keahlian. Namun, perkiraan berbasis satelit cadangan karbon hutan kemungkinan akan lebih mudah diakses dekade berikutnya sebagai teknologi baru muncul dan kapasitas teknis diperkuat. Mengumpulkan tanah tambahan berbasis data menggunakan desain sampling yang tepat bahwa rekening untuk kedua tipe hutan dan kondisi akan diperlukan terlepas dari metode dan langkah berikutnya yang penting untuk meningkatkan pemahaman dan fluks cadangan karbon di hutan tropis.
 

Jumat, 19 Maret 2010

Perhitungan Karbon Stock Dengan Terestrial

Geography of Carbon Trade:
Model Perhitungan Karbon Terestrial dan Aplikasinya di Indonesia

Rokhmatuloh dan Rudy P. Tambunan
Departemen Geografi FMIPA UI
Kampus UI Depok, Gedung H FMIPA UI, Depok 16424, Indonesia
Telp./Faks.: 021-7270030
Email: rokhmatuloh.ssi@ui.edu


Abstrak

Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu bumi sebesar 1,4-5,8° C. Negara-negara industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh melebihi negara-negara di bagian selatan. Perdagangan karbon (carbon trading) adalah salah satu mekanisme yang didorong dalam Protokol Kyoto sebagai upaya mengurangi dampak pemanasan global yang berlangsung saat ini. Dalam skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan perubahan stock karbon (carbon stock change). Penelitian ini memaparkan metode perhitungan luas tutupan hutan dan estimasi stock karbon menggunakan data penginderaan jauh. Luas tutupan hutan yang didapat akan digunakan untuk menghitung CO2 yang diserap oleh vegetasi atau dilepaskan ke atmosfer. Dengan mengetahui besarnya stock karbon yang terdapat pada vegetasi hutan maka akan memperkuat posisi Indonesia dalam proses tawar menawar di pasar perdagangan karbon global yang berlangsung saat ini.


1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Peningkatan suhu bumi atau sering dikenal dengan pemanasan global merupakan hal yang nyata atas sejumlah pengamatan suhu udara dan samudera yang meningkat, meluasnya salju dan es yang meleleh dan kenaikan muka air laut rata-rata (IPCC, 2007). Kenaikan suhu bumi ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia dalam bentuk bencana kekeringan, banjir, tenggelamnya pulau-pulau, kelaparan, kesehatan, dan lain-lain.
Sepanjang abad ke-20, benua Asia telah mencatat rekor kenaikan suhu tertinggi 1° C (IPCC, 2007). Karena emisi akan tetap berada di atmosfer dalam waktu lama, pemanasan 10 tahunan sebesar 0,2° C hingga tahun 2030 diprediksi akan terjadi (IPCC, 2007). Menurut World Bank (2007), meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu bumi sebesar 1,4-5,8° C. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0, 3° C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1° C di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (Hulme and Sheard, 1999). Skenario konsentrasi CO2, kenaikan suhu bumi dan kenaikan muka air laut rata-rata secara global sampai tahun 2100 diperlihatkan pada Tabel 1 di bawah ini. Menurut World Bank (2007), negara-negara industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh melebihi negara-negara di bagian selatan yang menghasilkan emisi 0 – 100 juta metrik ton Karbon. Gambar 1 memperlihatkan sebaran emisi Karbon Dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh negara-negara di dunia berdasarkan laporan World Bank tahun 2007.
Tabel 1. Konsentrasi CO2 menurut skenario IPPC tahun 2001
Sumber: IPCC, 2001
Sumber: World Bank, 2007
Gambar 1. Total emisi Karbon Dioksida (CO2) pada masing-masing negara di dunia

Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan yang menjadi kelanjutan dari berbagai kesepakatan penyelamatan bumi akibat pemanasan global. Protokol Kyoto mewajibkan sejumlah negara industri untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 hingga akhir tahun 2012. Untuk mencapai target pengurangan emisi GRK, Protokol Kyoto mengadopsi beberapa mekanisme yaitu perdagangan karbon (carbon trading), implementasi bersama (joint implementation), dan mekanisme pembangunan bersih (CDM-clean development mechanism). Ada dua jenis perdagangan karbon yang dikenal saat ini yaitu perdagangan emisi (emission trading) dan perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Gambar 2 memperlihatkan negara-negara non-Annex 1 atau negara-negara yang tidak diharuskan mengurangi emisi yang potensial untuk dijadikan lokasi kegiatan pengurangan emisi baik dalam bentuk perdagangan karbon maupun CDM (IPCC, 1995).
Perdagangan karbon (carbon trading) adalah salah satu skema yang didorong dalam upaya mengurangi dampak pemanasan global yang berlangsung saat ini. Walaupun banyak pihak yang menolak skema ini karena dianggap lebih menguntungkan negara-negara industri (negara-negara Annex 1 dalam Protokol Kyoto) yang diperbolehkan terus menghasilkan emisi asalkan memberikan kompensasi yang salah satunya dalam bentuk penanaman pohon dan pelestarian hutan di negara-negara selatan termasuk di Indonesia (skema REDD-Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dalam Bali Road Map 2007).
Vegetasi hutan tropis memiliki peran yang kuat dalam perubahan iklim lokal dan global, dan memiliki peran penting dalam fluktuasi karbon global (IPCC, 1996; Dixon et al., 1994). Vegetasi menyerap CO2 di atmosfer (carbon sink) melalui proses fotosintesis dan menyimpan karbon dalam struktur tanaman (Dixon et al., 1994). Dalam skema REDD ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan perubahan stock karbon (carbon stock change) (IFCA, 2007).
Penelitian ini memaparkan metode perhitungan luas tutupan hutan dan estimasi stock karbon menggunakan data penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang sangat bermanfaat dalam membantu melakukan kajian perubahan tutupan lahan dan estimasi stock karbon karena memiliki kemampuan melakukan observasi terhadap muka bumi yang dilakukan secara sistematik, wilayah cakupan (area coverage) yang luas mencapai ribuan kilometer, dan waktu ulang perekaman (revisit orbit) yang singkat 2-3 hari.

1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melakukan perhitungan luas hutan dan melakukan estimasi stock karbon pada hutan yang ada di Indonesia dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Luas tutupan hutan yang didapat digunakan untuk menghitung CO2 yang diserap oleh vegetasi atau dilepaskan ke atmosfer. Dengan mengetahui besarnya stock karbon yang dimiliki maka akan memperkuat posisi Indonesia dalam proses tawar menawar di pasar perdagangan karbon global. Metode estimasi yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk memonitor keberhasilan implementasi konsep REDD yang saat ini sudah mulai dilakukan di beberapa tempat di Indonesia.


Sumber: IPCC, 1995
Gambar 2. Negara-negara penandatangan Protokol Kyoto yang potensial menjadi lokasi kegiatan
pengurangan emisi karbon (Non-annex 1 countries).

2. Ekstraksi Tutupan Hutan dan Estimasi Stock Karbon

2.1. Ekstraksi Tutupan Hutan dengan Metode Regression Tree
Luas tutupan vegetasi diperoleh dengan menggunakan metode regression tree dengan data MODIS 250 meter digunakan sebagai variabel input, dan data QuickBird 60 cm digunakan sebagai data training untuk mendapatkan variable target. Model yang didapat kemudian diaplikasikan ke seluruh piksel pada area penelitian untuk mendapatkan luas tutupan vegetasi per piksel untuk seluruh wilayah Indonesia. Pendekatan utama yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari 5 step:
1. Menghitung luas tutupan hutan menggunakan metode klustering (unsupervised clusterring),
2. Merubah data komposit 8 harian menjadi data komposit bulanan untuk mengurangi besarnya volume data dan kecepatan analisis,
3. Membuat variabel pemrediksi seperti variabel reflektan permukaan (surface reflectance) dan NDVI (Normalized Differentiation Vegetation Index) yang diperoleh dari data MODIS,
4. Interpolasi secara spasial model yang didapat dari metode regression tree untuk seluruh area penelitian,
5. Konversi luas hutan menjadi total biomassa, estimasi karbon dan CO2 untuk wilayah Indonesia.
Metode regression tree merupakan salah satu metode pemodelan prediktif (predictive modeling) yang menghasilkan aturan if-then (if-then rule) yang mudah dipahami sehingga memudahkan proses pengkelasan yang dilakukan. Metode regression tree membagi data menjadi beberapa segmen yang disebut node terminal (terminal node) atau daun (leaves) yang homogen terkait dengan variable targetnya. Pemecahan ditentukan berdasarkan variabel input yang digunakan dan memungkinkan hubungan prediktif (predictive relationship) antara variabel input dan variabel target. Kehomogenan node terminal diukur berdasarkan persamaan berikut (Breiman et al., 1984):
D = ∑ (Yt – Yi)2
dimana D adalah total pengurangan nilai deviasi, Yt adalah variabel target dan Yi adalah nilai deviasi yang diukur dari rata-rata nilai variabel target.
Keuntungan metode regression tree adalah kemampuan menghasilkan keluaran yang sederhana sehingga memudahkan untuk dipahami dan diinterpretasi, tidak memerlukan waktu yang banyak dalam proses komputasinya, dan kemampuan mengolah data proporsi atau data kontinyu seperti data luas tutupan hutan yang memiliki kisaran 0 sampai 100 persen.

Gambar 3. Pemisahan (Splitting) data untuk membentuk subset yang homogen dalam metode regression tree.

Gambar 4. Tutupan hutan yang diperoleh dari citra MODIS

Perbandingan akurasi yang didapatkan antara metode regression tree dengan metode regresi linear sederhana menunjukkan bahwa regression tree menghasilkan kesalahan yang lebih kecil (RMSE= 11,71) bila dibandingkan dengan regresi linear sederhana yang menghasilkan RMSE= 22,13. Gambar 5 merupakan scatter plot yang menunjukkan perbandingan akurasi dari 2 (dua) metode di atas. Semakin dekat dengan garis diagonal semakin tinggi akurasi yang didapat. Keakurasian metode regression tree ditunjukkan oleh sebaran titik validasi-prediksi yang mengelompok terutama pada training data 0 - 20 persen dan 90 - 100 persen. Berbeda dengan sebaran titik validasi-prediksi yang dihasilkan oleh metode regresi linear sederhana yang tersebar menjauhi garis diagonal pada hampir semua persentase tutupan hutan.

(a)
(b)
Gambar 5. Scatter plot perbandingan akurasi antara (a) metode regression tree dengan (b) metode
regresi linear sederhana

2.2. Estimasi Stock Karbon
Stock karbon adalah jumlah absolut karbon yang berada di permukaan dan di dalam tanah dalam satu satuan waktu tertentu (Price et al., (1997), Kurz (1999), dan James (2005)). Dalam penelitian ini estimasi stock karbon dibatasi hanya yang terdapat pada vegetasi hutan. Estimasi karbon stock dilakukan dengan menggunakan data luas tutupan vegetasi dikalikan dengan data biomassa dan faktor konversi biomass-karbon (IPCC, 1996). Data luas tutupan hutan diperoleh dengan menggunakan metode regression tree seperti dibahas pada uraian sebelumnya.
Pengukuran karbon pada biomass hidup (living biomass) dilakukan dengan menkonversi luas tutupan hutan dikalikan dengan faktor volume vegetasi. Total berat karbon yang didapat dikalikan dengan faktor konversi karbon-CO2 (CFS, 2000). Persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini:
Total volume vegetasi = volume vegetasi x 1,454 x 0,396
Total biomass = luas tutupan vegetasi x total volume vegetasi
Total karbon = total biomass x 0,5
Total CO2 = total karbon x 3,6667

dimana 1,454 adalah faktor konversi volume dahan dan ranting vegetasi, 0,396 adalah faktor konversi volume vegetasi bawah (below-ground volume), 0,5 faktor konversi biomass-karbon, dan 3,6667 adalah faktor konversi karbon CO2 (IPCC, 1997; CFS, 2000) (lihat Gambar 6). Gambar 7 memperlihatkan keseluruhan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.


Gambar 6. Estimasi stock karbon Indonesia (terrestrial carbon) yang diperoleh dalam
penelitian ini

3. Kesimpulan
Negara-negara industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh melebihi negara-negara di bagian selatan yang menghasilkan emisi 0 – 100 juta metrik ton Karbon. Untuk mencapai target pengurangan emisi GRK, Protokol Kyoto mengadopsi beberapa mekanisme yaitu perdagangan karbon, implementasi bersama, dan CDM. Dalam skema REDD ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan perubahan stock karbon (carbon stock change).
Metode regression tree yang digunakan untuk mendapatkan informasi luasan tutupan hutan dan estimasi stock karbon memiliki akurasi tinggi bila dibandingkan dengan metode regresi linear sederhana. Luasnya wilayah cakupan dan waktu ulang perekaman yang singkat yang didapatkan dari data penginderaan jauh sangat membantu dalam melakukan pengkajian perubahan luas tutupan hutan dan stock karbon di Indonesia. Besaran stock karbon yang telah diketahui dapat digunakan sebagai alat pembuktian ilmiah bagi Indonesia dalam proses tawar menawar di pasar perdagangan karbon global yang berlangsung saat ini.


Referensi
Breiman L., Friedman J., Olshen R., and Stone C., Classification and regression trees, Chapman and Hall, New York, 358p., 1984.
CFS (Canadian Forest Service), Carbon budget accounting at forest management level: An overview of issues and methods, Natural Resources Canada, 13p., 2000.
Dixon R.K., Brown S., Houghton R.A., Solomon A.M., Trexler M.C., and Wisniewski J., 1994, Carbon pools and flux of global forest ecosystem, Science, 263, pp. 185-190.
Hulme, M. and Sheard, N. Climate change scenarios for Indonesia. Leaflet CRU and WWF. Climatic Research Unit. UEA, Norwich, UK. 1999 .
IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance), REDDI – Reducing emission from deforestation and degradation in Indonesia: REDD methodology and strategies, Departemen Kehutanan, Jakarta, 66p, 2007
IPCC, Climate Change 1995: A report of the interegovernmental panel on climate change, IPCC report, Geneva, Switzerland, 64p., 1995.
IPCC, Climate Change 1995: The IPCC second assessment report: Scientific-technical analyses of impacts, adaptations, and mitigation of climate change, Cambridge University Press, Cambridge, pp. 427–467, 1996.
IPCC, Stabilization of Atmospheric Greenhouse Gases: Physical, biological and socio-economic implications, IPCC Technical Paper III, Geneva, Switzerland. 41p., 1997
IPCC, Climate Change 2001: Impacts, adaptation, and vulnerability. Summary for policymakers and technical summary of the working group II report. WMO-UNDP, 2001.
James S.E., 2005, Development of forest carbon stock and stock change baselines in support of the 2004 climate action plan for Maine, Proceedings of the New England Society of American Foresters 85th Winter Meeting, March 16-18, 2005, Newtown Square, PA, USA.
Kurz, W.A., Beukema S.J., and Apps. M.J., 1998. Carbon budget implications of the transition from natural to managed disturbance regimes in forest landscapes, Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 2, pp. 405–421.
Price, D.T., Halliwell, D.H., Apps. M.J., Kurz W.A., and Curry S.R., 1997, Comprehensive assessment of carbon stocks and fluxes in a Boreal-Cordilleran forest management unit, Canadian Journal Forest Reearch, 27, pp.2005-20105.
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), Press Release: UN Breakthrough on climate change reached in Bali. 4 p., 2007.
World Bank. Little green data book 2007: Carbon dioxide emissions on the rise, warns World Bank publication, Washington, 240 p., 2007.

LAMPIRAN
Kyoto Protocol: Annex I countries (industrialized countries) :
Australia, Austria, Belarus, Belgium, Bulgaria, Canada, Croatia, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Monaco, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Romania, Russian Federation, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, Ukraine, United Kingdom, United States of America
Kyoto Protocol - Annex II countries (developed countries which pay for costs of developing countries):
Australia, Austria, Belgium, Canada, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Luxembourg, Netherlands, New Zealand, Norway, Portugal, Spain, Sweden, Switzerland, United Kingdom, United States of America
Catatan: USA sampai saat ini belum meratifikasi Protocol Kyoto 


Sumber : http://one-geo.blogspot.com/2010/02/geography-of-carbon-trade-model.html

Cara Menghitung Cadangan Karbon di Hutan

 
PENDUGAAN CADANGAN KARBON (C-stock)
DALAM RANGKA PEMANFAATAN FUNGSI HUTAN
SEBAGAI PENYERAP KARBON
(Ringkasan)

(download File Lengkap : carbon-stock-in-secondary-forest)

karbon

Oleh
Wahyu Catur Adinugroho
Ismed Syahbani
Mardi T. Rengku
Zainal Arifin
Mukhaidil


PENDAHULUAN

            Disaat hutan alam tak ada lagi yang dapat dieksploitasi karena kayunya telah habis dieksploitasi secara berlebihan, baik secara legal maupun ilegal dan hutan tanaman yang diharapkan mampu mendukung ketersedian bahan baku kayu belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, akankah era kekemilauan sektor kehutanan sebagai sumber devisa andalan Indonesia telah berakhir? Kini Indonesia harus mampu melihat hutan tropisnya dengan paradigma yang berbeda, hutan tidak lagi identik dengan kayu, apalagi hutan tropis yang sifatnya ringkih. Hutan dapat memberikan jasa dalam bentuk yang lain seperti fungsi hidrologi, fungsi ekologi, fungsi sosial dan budaya serta saat ini diketahui bahwa hutan berperan besar dalam upaya melindungi atmosfer bumi. Manfaat intangible hutan ini kadang sering diabaikan karena dianggap tidak dapat memberikan nilai ekonomis yang dapat dirupiahkan.
            Dengan adanya inisiatif global seperti Kyoto Protocol, kini kita ditantang untuk melihat hutan dengan sudut pandang lain lagi. Para rimbawan, masyarakat dan praktisi lainnya yang berkaitan dengan keberadaan hutan perlu untuk mempraktekkan pengetahuan dan keahliannya pada spektrum yang lebih luas lagi, lingkungan global. Hutan bukan sekedar tumpukan kayu yang dapat mendatangkan devisa sesaat yang sering juga menimbulkan bencana jika dimanfaatkan tanpa kendali tetapi merupakan komoditi global yang memiliki potensi selain kayu. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termasuk jasa yang dihasilkan harus dikembangkan dalam pemanfaatannya untuk mengembalikan era kekemilauan sektor kehutanan dalam mendukung devisa negara.
            Berkaitan dengan kemampuan hutan dalam menyerap karbon, perdagangan emisi atau perdagangan karbon merupakan sebuah paradigma baru dalam sektor kehutanan dan dapat menjadi peluang bagi  Indonesia yang notabene merupakan negara berkembang untuk mendapatkan devisa melalui sektor ini.  Melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) inilah negara berkembang seperti Indonesia dapat berpartisipasi dalam rangka perdagangan karbon. Dalam sektor kehutanan, kegiatan yang tergolong dalam mekanisme ini adalah Aforestasi dan Reforestasi. Aforestasi merupakan kegiatan penanaman hutan kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan 50 tahun yang lalu sedang reforestasi adalah penanaman hutan kembali pada lahan yang tidak berupa hutan sebelum tahun 1990. Meskipun kegiatan konservasi dan rehabilitasi tidak masuk dalam mekanisme CDM namun kegiatan tersebut masuk dalam kategori kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mekanisme yang diatur oleh Konvensi Perubahan Iklim sehingga kegiatan inipun berpotensi untuk mendapatkan pembiayaan.
             Perdagangan karbon adalah paradigma baru sehingga kita perlu banyak persiapan, kesiapan ini juga menyangkut teknik dan penilaian informasi kandungan karbon yang dimiliki. Dalam makalah ini disampaikan bagaimana menduga cadangan karbon sehingga menghasilkan informasi C-stock dalam Hutan yang terdiri dari enam karbon pool (above ground, below ground, understorey, litter, nekromash dan soil) dengan mengambil studi kasus di Hutan Sekunder bekas kebakaran di PT. Inhutani I Batuampar, Kalimantan Timur.

PERANAN HUTAN SEBAGAI PENYERAP KARBON

            Peranan Hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas.
            Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). Di antara GRK penting yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Dengan kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti diuraikan diatas, peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan.
            Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra (Kyrklund, 1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.

PARADIGMA PERDAGANGAN KARBON

            Negara-negara industri yang sudah lebih lama dan banyak mengemisikan GRK mempunyai tanggungjawab menurunkan emisi GRK. Kewajiban ini disepakati dalam Konvensi Perubahan Iklim, yaitu sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk menstabilkan emisi GRK ke atmosfer sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mengimplementasikan konvensi ini, masyarakat internasional telah menyepakati sebuah target, tentang besar dan jadwal penurunan emisi yang tertuang dalam Protokol Kyoto. Protokol ini juga mengatur tatacara penurunan emisi termasuk kegiatan yang dilakukan di negara lain yang dikenal dengan nama Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM). Melalui mekanisme CDM inilah negara berkembang seperti Indonesia dapat menjual karbon yang mampu diserap dan disimpan oleh hutan yang dimiliki ke negara maju (sink program). Indonesia sangat berpotensi menjadi negara penyerap emisi karbon karena Indonesia mempunyai hutan tropis yang luas bahkan potensi tersebut dapat lebih ditingkatkan dengan upaya penanaman dan rehabilitasi hutan yang telah rusak yang tersebar luas. Dalam sektor kehutanan, kegiatan yang tergolong dalam CDM adalah aforestasi dan reforestasi. Meskipun kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan mitigasi yang absah dibawah prosedur CDM. Namun kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mekanisme yang tidak diatur oleh CDM, tetapi oleh Konvensi Perubahan Iklim yang memungkinkan juga mendapatkan pembiayaan. Selain CDM beberapa alternatif potensi pasar karbon lain juga tersedia, yaitu melalui pasar non kyoto dengan persyaratan dan kriteria lain, seperti pasar Amerika, bio-carbon fund, bilateral, multilateral dan unilateral donor.

CONTOH KASUS PENDUGAAN C-stock HUTAN

            Dalam rangka pemanfaatan fungsi hutan sebagai penyerap karbon melalui sebuah kerangka carbon trade sangat diperlukan upaya mengkuantifikasi berapa besar karbon yang dapat diserap dan disimpan (C-stock) oleh hutan. Sebagai contoh kasus upaya mengkuantifikasi berapa besar karbon yang dapat diserap dan disimpan oleh Hutan akan diuraikan Pendugaan C-stock Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 1997/1998 di PT. Inhutani I Batuampar, Kalimantan Timur.   Pendugaan C-stock Hutan Sekunder ini dapat dijadikan baseline (penentuan garis awal) atau kondisi awal cadangan karbon sebelum proyek dimulai. C-stock Hutan terdiri dari enam karbon pool, yaitu above ground (batang, cabang, daun), below ground (akar), tumbuhan bawah, serasah, nekromash dan tanah.
            Dalam rangka pendugaan C-stock ini dapat digunakan pendekatan biomassa dimana 40%-50% dari biomassa tersebut adalah karbon (Brown, 1997). Secara rinci metode yang digunakan dalam menduga C-stock berbagai komponen dalam hutan dapat diuraikan sebagai berikut :
Pada tahap pertama dilakukan pembuatan plot ukuran 20mx20m sebanyak 3 ulangan (Gbr. 2), didalamnya dibuat sub plot dengan ukuran 5mx5m dan 1m x 1m masing – masing sebanyak 5 ulangan (Gbr. 1). Pada penelitian ini plot I terletak pada koordinat 01o00’43” LS, 116o51’25,5” BT, plot II terletak pada koordinat 01o00’44,4” LS, 116o51’23,2” BT dan plot III terletak pada koordinat 01o00’47,2” LS, 116o51’23,2” BT. Selanjutnya dilakukan pengambilan data primer dengan melakukan sensus di seluruh plot meliputi identifikasi jenis tumbuhan bawah, pancang dan pohon serta pengukuran diameter batang.
Guna mendapatkan sebaran diameter, maka pada plot 20mx20m dilakukan sensus pengukuran diameter batang pohon (D>10cm) sedangkan pada sub plot 5mx5m dilakukan sensus pengukuran diameter batang untuk pancang (D<10cm). Pada sub plot 1m x 1m dilakukan pengamatan vegetasi bawah, nekromash, ceraza dan tanah.
Setelah mendapatkan gambaran komposisi vegetasi dan sebaran diameter maka dipilih 63 pohon contoh secara purposif yang diharapkan dapat mewakili ketersebaran diameter dan jenis yang ada di lokasi. Kemudian dilakukan pengukuran diameter pohon setinggi dada (1,3 m di atas permukaan tanah) dengan menggunakan pita ukur dan tinggi pohon pada saat  pohon berdiri. Selanjutnya dilakukan penghitungan biomassa dengan menggunakan metode destructive sampling, yaitu melakukan penebangan kemudian penimbangan berat basah secara langsung pada tiap bagian komponen vegetasi (daun, cabang, batang dan akar) dan mengkonversinya menjadi berat kering (biomassa) menggunakan berat kering tiap contoh bagian vegetasi pada tiap pohon contoh. Contoh daun diambil sebanyak ±100 gr sedangkan contoh bagian cabang, batang dan akar jika memungkinkan diambil contoh dengan ukuran ± 2 cm x 2 cm x 2 cm pada bagian pangkal, tengah dan ujung. Biomassa yang diperoleh dari pohon contoh ini selanjutnya dikembangkan untuk menyusun persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang diperoleh nantinya dapat digunakan untuk menghitung biomassa suatu tegakan hutan sekunder.
Adapun tahapan-tahapan yang dapat dilakukan adalah melakukan pembersihan areal di sekitar pohon contoh dan penebangan. Selanjutnya dilakukan pemisahan bagian-bagian pohon (daun, cabang, batang dan akar).
-          Daun
Guna Penghitungan biomassa daun pohon contoh maka pada setiap pohon contoh yang telah ditebang dikumpulkan keseluruhan daun tersebut kemudian dilakukan penimbangan berat basah, selanjutnya diambil sampel sebanyak ±100 gr untuk penghitungan berat kering.

-          Cabang
Pada setiap pohon contoh dipisahkan bagian cabang dari batang utama, dikumpulkan kemudian ditimbang berat basahnya. Setelah dilakukan penimbangan berat basah, diambil contoh pada bagian pangkal, tengah dan ujung cabang pada seluruh contoh guna penghitungan berat kering di laboratorium.

-          Batang
Pada setiap batang utama dipotong-potong untuk memudahkan penimbangan berat basah serta dipisahkan batang utama bebas cabang dan setelah cabang. Setelah dilakukan penimbangan berat basah keseluruhan batang utama, diambil contoh batang pada bagian pangkal, tengah dan ujung cabang untuk penghitungan berta kering di laboratorium.
 -          Akar
Untuk memudahkan pengambilan akar maka sebelum pohon ditebang dilakukan penggalian akar-akar yang besar  sehingga saat pohon rebah akar akan terangkat. Setelah itu keseluruhan akar dikumpulkan kemudian dilakukan penimbangan berat basah. Untuk penghitungan berat kering yang dilakukan di laboratorium maka diambil sampel pada bagian pangkal, tengah dan ujung akar.

Pada petak 1m x 1m (15 petak) dilakukan pembabatan tumbuhan bawah kemudian dikumpulkan  dan ditimbang berat basahnya  Begitupun juga dengan serasah, serasah yang terdapat dalam petak 1m x 1m (15 petak) dikumpulkan dan ditimbang berat basahnya kemudian diambil contoh sebanyak ± 100 gr untuk pengukuran berat kering contoh.
Nekromash merupakan kayu-kayu yang telah lapuk, nekromash ini juga merupakan salah satu komponen didalam hutan yang mempunyai potensi sebagai penyimpan karbon. Untuk pengambilan sample nekromash dilakukan pada petak ukur 2 x 2m pada tiap plot sebanyak 5 ulangan. Keseluruhan nekromash yang terdapat dalam petak ukur dikumpulkan kemudian ditimbang berat basahnya, setelah itu diambil sampel sebanyak kurang lebih ±100 gr untuk penghitungan berat kering di laboratorium.


Untuk perhitungan karbon tanah diambil contoh tanah pada tiap plot sebanyak 4 ulangan pada 5 tingkat kedalaman, yaitu : 0-5 cm, 5-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-50 cm. Dimana pada tiap contoh tanah ini dilakukan pengukuran berat tanah, volume dan kandungan karbon tanah.

Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa komposisi vegetasi di lokasi dicirikan oleh 69 jenis vegetasi, 61 marga dan 37 suku pada berbagai tingkat yaitu tumbuhan bawah, Semai, Pancang dan Pohon. Beberapa jenis tumbuhan ini menjadi ciri khas hutan sekunder yaitu sebagai tumbuhan pioner seperti jenis Macaranga sp., Mallotus sp., Trema sp., Melastoma sp. dan Leea sp. Beberapa jenis pioner ini juga dijumpai dalam penelitian komposisi dan struktur vegetasi hutan bekas terbakar di Wanariset Samboja Kalimantan Timur oleh Saridan dan Tangketasik (1987). Struktur vegetasi pada lokasi ini merupakan vegetasi muda dengan diameter kecil dimana secara umum semakin besar diameter suatu vegetasi jumlahnya akan semakin menurun seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah pohon Pada Tiap Kelas Diameter di Plot Penelitian
Persamaan alometrik ini digunakan untuk menduga biomassa total vegetasi tingkat pancang dan pohon atau vegetasi dengan kriteria tinggi > 1,5 m. Persamaan alometrik penduga biomassa di lokasi ini disusun dari 63 vegetasi contoh tingkat pancang dan pohon  berdasarkan adanya hubungan peubah dimensi pohon (diameter dan Biomassa). Dari hasil analisa pemilihan model terbaik, pada lokasi ini dihasilkan persamaan alometrik biomassa terpilih seperti terlihat pada Tabel 2.
Plot
Kelas Diameter (cm)
<2
2-
<4
4-
<6
6-
<8
8-
<10
10-
<12
12-
<14
14-
<16
16-
<18
20-
<22
24-
<26
>30
I
38
30
10
3
5
9
6
2

1


II
45
39
12
1
1
1
3
1
1
2
1
1
III
31
31
14

2
5
2
2

1


Jumlah (Ind)
114
100
36
4
8
15
11
5
1
4
1
1
Kerapatan
(Ind/ha)
3040
2667
960
107
213
125
92
42
8
33
8
8



Tabel 2. Persamaan Biomassa Terpilih

Biomassa
Persamaan Alometrik
R-sq
s
PRESS
Biomassa Daun
Bdaun = 0.0263027D1.79
65.5%
0.3978
10.2397
Biomassa Cabang
Bcab = 0.0165959D2.44
83.0%
0.3392
7.37279
Biomassa Batang
Bbtg = 0.0977237D2.20
94.9%
0.1557
1.57058
Biomassa Akar
Bakar = 0.0457088D1.98
86.7%
0.2372
3.65184
Biomassa Total
Btot = 0.199986D2.14
93.4%
0.1741
1.95678
Keterangan : D (diameter setinggi dada), Bdaun (biomassa daun), Bcab (biomassa cabang)                       Bbtg (biomassa batang), Bakar (biomassa akar), Btot (biomassa total).
           
Dari Tabel 2. menunjukkan bahwa persamaan alometrik yang dihasilkan untuk menduga biomassa tiap bagian pohon merupakan bentuk power function (Y=aDb) dimana Y= biomassa, D=diameter yang diukur setinggi dada, a dan b=konstanta. Bentuk persamaan ini juga telah digunakan oleh Brown untuk menduga biomassa pohon di hutan alam primer daerah kering, lembab dan basah (Brown, 1997). Dari perbandingan persamaan biomassa total hasil penelitian dengan persamaan Brown pada daerah lembab dan basah (B = 0.118D2.53 dan B = 0.092D2.60) dengan menggunakan uji t setelah ditransformasi kedalam persamaan linear didapatkan bahwa persamaan biomassa total dalam penelitian dan persamaan Brown mempunyai nilai intersep dan slope yang berbeda nyata. Nilai slope garis persamaan regresi pada persamaan yang dihasilkan untuk menduga kandungan biomassa pada hutan sekunder bekas kebakaran lebih kecil dibandingkan persamaan Brown (1997) di hutan alam primer.  Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan biomassa hutan sekunder akan menghasilkan biomassa yang lebih kecil dibandingkan hutan alam primer terutama pada vegetasi berdiameter besar. Kecilnya biomassa pada hutan sekunder karena diakibatkan kebakaran dan pembalakan sehingga menyebabkan sebagian biomassa hilang.
Kandungan Karbon (C-stock) dihitung dengan menggunakan pendekatan biomassa dengan asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan. Diperoleh hasil bahwa C-stock hutan sekunder dari berbagai karbon pool seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. C-stock Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 1997/1998 di PT. Inhutani I Batuampar, Kalimantan Timur.
Karbon pool
Total Biomassa
(Ton/Ha)
C-org
(%)
Total C-stock
(Ton/Ha)
- Pohon
Bagian atas
Daun
Cabang
Batang
Bagian bawah
Akar
36.82632
30.69506
2.35312
6.6469
21.69504
6.13126
6.13126
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
50 (est)
18.41316
15.34753
1.17656
3.32345
10.84752
3.06563
3.06563
Tumbuhan bawah
2.423879
50 (est)
1.21194
Serasah
3.768549
50 (est)
1.870885
Nekromash
22.63489
50 (est)
11.31744
Soil
0-5 cm (BD=1.106 gr/cm3)
5-10 cm (BD=1.252 gr/cm3)
10-20 cm (BD=1.286 gr/cm3)
20-30 cm (BD=1.331 gr/cm3)
30-50 cm (BD=1.345 gr/cm3)


2.450
1.212
0.833
0.667
0.593
56.728
13.524
7.569
10.694
8.921
16.020
TOTAL


89.541425

dari Tabel 3 dalam kaitannya dengan karbon yang tersimpan pada komponen pohon, dapat dilihat bahwa kandungan karbon terbesar terdapat pada bagian batang yaitu sebesar 10.84752  ton/ha (58.91%). Hal ini karena sebagian besar hasil fotosintesis disimpan pada bagian batang untuk pertumbuhan baik horisontal maupun vertikal. Total kandungan karbon vegetasi hutan sekunder pada tingkat pancang dan pohon di lokasi penelitian sebesar 18.41316 ton/ha. Nilai dugaan ini lebih kecil dibandingkan karbon stock yang terdapat pada Hutan Primer di Kalimantan Timur, dimana sebuah penelitian di hutan primer di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa total biomassa tegakan hutan primer sekitar 492 ton/ha (Ruhiyat, 1995) dengan asumsi 50% biomassa adalah C-stock maka C-stock pada hutan primer di Kalimantan Timur tersebut adalah 246 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran telah menyebabkan banyak karbon terlepas dan berpotensi meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer.
Total C-stock pada Hutan Sekunder bekas kebakaran dan pembalakan pada plot penelitian ini sebesar 89.541425 Ton/ha. Komponen C-stock pada nekromash di lokasi ini mempunyai nilai yang cukup besar hal ini dikarenakan lokasinya merupakan areal bekas kebakaran dan pembalakan sehingga banyak ditemukan batang, cabang dan tunggak pohon yang telah mati dan mengalami proses pelapukan. Persentase C-stock pada berbagai komponen hutan sekunder dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar.

grafik

PENUTUP

            Perdagangan Karbon merupakan sebuah paradigma baru dalam upaya pemanfaatan hutan selain kayu dimana hutan mempunyai jasa lingkungan sebagai penyerap karbon. Dalam rangka pemasaran jasa lingkungan ini perlu dilakukan kuantifikasi besar karbon yang mampu diserap dan disimpan (C-stock) oleh Hutan. Pada Hutan Sekunder bekas Kebakaran 1997/1998 di PT. Inhutani I Batuampar, diperoleh nilai C-stock pada berbagai komponen karbon pool sebesar 89.541425 Ton/ha. Selain informasi kandungan karbon tersebut dihasilkan juga persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk menduga Biomassa pohon, yaitu Biomassa daun (Bdaun)= 0.0263027D1.79 , Biomassa cabang (Bcab)= 0.0165959D2.44, Biomassa batang (Bbtg)= 0.0977237D2.20, Biomassa akar(Bakar)= 0.0457088D1.98, Biomassa total : (Btot)= 0.199986D2.14 dimana D adalah diameter setinggi dada.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. FAO. Forestry Paper No. 134. F AO, USA
IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. 2003. Good Practicece Guidance for Land Use, Land Use Change and Forestry. Technical Support Unit IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme, Institute for Global Environmental Strategies. Hayama.
Kyrklund, B. 1990. The Potential of Forests and Forest Industry in Reducing Excess Atmospheric Carbon Dioxide. Unasylva 163. Vol 41. FAO
Ruhiyat, D. 1995. Estimasi Biomassa Tegakan Hutan Tropis di Kalimantan Timur. Lokakarya Inventarisasi Emisi dan Rosot Gas Rumah Kaca. Bogor 4-5 Agustus 1995
Saridan, A & Tangketasik, J. 1987. Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Bekas Terbakar dan Tidak Terbakar di Wanariset Samboja. Jurnal Penelitian Hutan Tropika Samarinda, Wanatrop Volume 2 No 2. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda.
Sumber : http://wahyukdephut.wordpress.com